Pakar UGM: Kasus Band Sukatani Bukti Kepolisian Sulit Terima Kritik

YOGYAKARTA, Brebesinfo.com – Lagu “Bayar, Bayar, Bayar” dari band punk Sukatani tiba-tiba dihapus dari semua platform musik pada 14 Februari 2025. Personel band mengumumkan penarikan lagu itu melalui media sosial sambil meminta maaf kepada kepolisian. Kejadian ini memicu reaksi publik yang menilai polisi tidak siap menerima kritik.

Pakar Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, MPP, menilai tindakan tersebut menunjukkan bahwa kepolisian masih sulit menghadapi kritik.

“Meskipun band Sukatani sudah meminta maaf, publik tetap bertanya-tanya apakah mereka melakukannya secara sukarela atau karena tekanan,” kata Wahyudi, Senin (3/3/2025).

Menurut Wahyudi, kebebasan berpendapat dijamin dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Berpendapat di Muka Umum. Namun, ia menilai aparat kepolisian masih belum memahami betul prinsip tersebut.

Lirik lagu “Bayar, Bayar, Bayar” berisi kritik terhadap pungutan liar (pungli) yang diduga dilakukan oknum polisi. Wahyudi menegaskan bahwa kritik seperti ini seharusnya menjadi bahan evaluasi, bukan justru dibungkam.

“Institusi yang kuat adalah yang mampu menerima kritik dan menjadikannya masukan untuk perbaikan. Jika kritik selalu direspons dengan cara represif, kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian akan terus menurun,” ujarnya.

Berdasarkan survei Litbang Kompas, kepercayaan publik terhadap Polri pada Juli 2024 berada di angka 73,1 persen. Namun, pada Februari 2025, angka ini turun menjadi 71 persen. Meskipun perbedaannya kecil, tren ini menunjukkan adanya ketidakpuasan di masyarakat.

Kasus Sukatani juga menjadi peringatan bagi kepolisian bahwa tindakan seperti ini dapat memperburuk citra mereka. Apalagi, di era digital, informasi cepat menyebar dan memicu respons dari masyarakat luas.

Wahyudi menilai, kepolisian harus mulai membiasakan diri dengan kritik, terutama yang disampaikan lewat seni dan budaya. Kritik dalam bentuk lagu, puisi, atau karya seni lainnya adalah cerminan dari suara rakyat.

“Jika kepolisian ingin membangun citra yang baik, mereka harus lebih terbuka dan tidak mudah tersinggung dengan kritik,” tegasnya.

Ia berharap kejadian ini menjadi pelajaran bagi kepolisian agar lebih memahami pentingnya demokrasi yang sehat.

“Kritik bukan ancaman, tapi peluang untuk memperbaiki diri,” pungkasnya.(*)

Bagikan Berita:
Dapatkan Berita Update Menarik Lainnya dengan Kami

Reels instagram

You cannot copy content